Secara lokal, tanda dan gejala infeksi yang umum antara lain terjadi nyeri, pembengkakan, eritema permukaan, pembentukan pus, dan terbatasnya pergerakan. Secara sistemik, dapat terjadi demam, limfadenopati, malaise, toksisitas, dan peningkatan jumlah sel darah putih. 4
Terdapat berbagai jenis bakteri yang berbeda dalam rongga mulut. Bakteri oral yang menyebabkan suatu infeksi dapat berkisar antara 350 sampai 500 jenis yang berbeda. Namun, jika mengetahui jenis bakteri yang dominan, kita dapat mengatasi penyakit infeksi tersebut.6
II.1 Bakteri
II.1.1 Karakteristik Bakteri
Bakteri, dari kata Latin bacterium (jamak, bacteria), adalah kelompok besar dari organisme hidup. Mereka sangatlah kecil (mikroskopik) dan kebanyakan uniselular (bersel tunggal), dengan struktur sel yang relatif sederhana tanpa nukleus, sitoskeleton, dan organel lain seperti mitokondria dan kloroplas. Bakteri merupakan prokariota, untuk membedakannya dengan organisme dengan sel lebih kompleks yang disebut eukariota. 7
Bakteri merupakan organisme bersel satu, yang berbeda dengan virus. Virus jauh lebih sederhana, terdiri dari satu jenis biokimia (asam nuclei, seperti DNA atau RNA) yang dibungkus oleh protein. Kebanyakan ahli biologi tidak menganggap virus sebagai sesuatu yang hidup, tetapi sebagai partikel infeksi. Antibiotika menyerang bakteri dan bukan virus. 6
Gambar 1. Struktur sel bakteri (dari Characteristics of bacteria, bacterial growth, harmless, beneficial, and harmfull bacteria. Available at http://www.googlesearch/bluewaterbiosciences.com)
Semua bakteri memiliki struktur sel yang relatif sederhana. Struktur bakteri yang paling penting adalah dinding sel. Bakteri dapat digolongkan menjadi dua kelompok yaitu Gram positif dan Gram negatif didasarkan pada perbedaan struktur dinding sel. Bakteri Gram positif memiliki dinding sel yang terdiri atas lapisan peptidoglikan yang tebal dan asam teichoic. Sementara bakteri Gram negatif memiliki lapisan luar, lipopolisakarida - terdiri atas membran dan lapisan peptidoglikan yang tipis terletak pada periplasma (di antara lapisan luar dan membran sitoplasmik). 7
II.1.2 Virulensi Bakteri
Virulensi digunakan untuk menyatakan ukuran atau derajat dari suatu patogenisitas. Walaupun semua patogen menyebabkan penyakit, beberapa jenis patogen lebih virulen daripada jenis lainnya (dalam artian, memiliki kemampuan yang lebih dalam menyebabkan terjadinya suatu penyakit). Sebagai contoh, untuk menyebabkan shigellosis (suatu penyakit diare) hanya membutuhkan 10 sel Shigella, dan sebagai perbandingan dibutuhkan 100 hingga 1000 sel Salmonella untuk menyebabkan salmonellosis (penyakit diare jenis lainnya). Jadi, dapat disimpulkan bahwa Shigella lebih virulen dibandingkan Salmonella. 3
Kadang-kadang virulensi digunakan untuk menunjukkan tingkat keparahan penyakit infeksi yang disebabkan oleh patogen. Berdasarkan hal ini, maka suatu patogen dapat bersifat lebih virulen dibandingkan patogen lainnya jika menyebabkan penyakit yang lebih parah.3
Flora mulut biasanya hidup secara komensalistik dengan host, tidak saling menguntungkan dan merugikan. Apabila keadaaan memungkinkan terjadinya invasi, baik oleh flora normal maupun asing, maka akan terjadi perubahan hubungan menjadi parasitisme. Sekali terjadi infeksi, organisme akan memperkuat diri dan berkembang biak. Virulensi adalah jumlah total fungsi metabolis dan fisiologis parasit yang bisa mendukungnya untuk bertahan hidup, tumbuh, memperbanyak diri, dan memproduksi perubahan patologis terhadap jaringan host. Sedangkan resistensi adalah jumlah total dari fungsi tersebut pada host sehingga mampu bertahan dari aktivitas parasit.1
Faktor- faktor Virulensi Bakteri
Dukungan secara fisik atau atribut dari patogen yang memungkinkan patogen tersebut untuk lolos dari berbagai mekanisme pertahanan host dan menyebabkan penyakit disebut faktor-faktor virulensi. Faktor-faktor virulensi merupakan karakteristik fenotipik yang ditentukan oleh genotipe suatu organisme. Toksin merupakan faktor virulensi yang nyata, akan tetapi faktor virulensi lainnya tidak begitu nampak. 3
r Perlekatan Bakteri
Untuk menyebabkan suatu penyakit, patogen harus dapat menjangkarkan diri dan melekat pada sel-sel host setelah mereka dapat menemukan akses terhadap tubuh.3
Kata reseptor dan integrin digunakan untuk mendeskripsikan molekul pada permukaan sel host di mana patogen tertentu dapat mengenali dan melekat pada titik tertentu. Kadang, reseptor ini berupa molekul-molekul glikoprotein. Suatu patogen tertentu hanya dapat melekat pada sel di reseptor yang tepat. Jadi, beberapa jenis virus dapat menyebabkan infeksi saluran pernafasan karena memiliki kemampuan untuk mengenali dan melekat pada reseptor tertentu yang nampak pada sel.3
Streptococcus pyogenes memiliki adhesin (yang disebut reseptor F) pada permukaannya yang memungkinkan patogen ber-adhesi dengan protein - fibronektin - yang ditemukan pada sebagian besar permukaan sel host. Istilah adhesin dan ligan secara umum digunakan untuk mendeskripsikan molekul-molekul pada permukaan patogen yang memiliki kemampuan untuk mengenali dan berikatan dengan reseptor tertentu.3
Bakteri juga mempunyai molekul permukaan khusus yang berinteraksi dengan sel inang. Banyak bakteri mempunyai pili, organ mirip rambut yang menjulur dari permukaan sel bakteri dan membantu memperantarai perlekatan sel bakteri pada permukaan sel inang. Pili (fimbriae) dipertimbangkan sebagai faktor virulensi bakteri karena kemampuannya untuk memungkinkan bakteri melekat lebih kuat pada permukaan sel inang. 2,3
r Toksin Bakteri
Toksin yang diproduksi oleh bakteri biasanya digolongkan ke dalam dua kelompok, eksotoksin dan endotoksin.2
Eksotoksin adalah protein yang bersifat toksik yang disekresikan oleh patogen; yang dinamai berdasarkan organ yang menjadi target sasaran. Eksotoksin yang paling potensial yaitu neurotoksin yang mempengaruhi sistem syaraf pusat.3
Banyak bakteri gram-positif dan gram-negatif menghasilkan eksotoksin yang penting dalam bidang kedokteran, misalnya toksin C tetani pada Perang Dunia II. Vaksin telah dikembangkan untuk beberapa penyakit yang berperantara-eksotoksin dan tetap penting dalam pencegahan penyakit. Vaksin yang disbut toksoid ini dibuatdari eksotoksin yang dimodifikasi sehingga tidak lagi bersifat toksik. Banyak eksotoksin terdiri atas subunit A dan B; subunit B umumnya memperantarai perlekatan kompleks toksin pada sel inang dan membantu masuknya eksotoksin ke dalam sel inang. Subunit A memimbulkan aktivitas toksik.3
Tipe eksotoksin yang lain , yang disebut enterotoksin , merupakan toksin yang mempengaruhi sistem traktus gastrointestinal , yang kadang menyebabkan diare dan muntah. Contoh bakteri yang memproduksi enterotoksin yaitu Bacillus cereus, beberapa tipe E.coli, Clostridium difficile, Clostridium perfringens, Salmonella spp, Shigella, Vibrio cholera, dan beberapa jenis Staphylococcus aureus. Sebagai tambahan saat melepaskan enteroktoksin, C.difficile juga memproduksi sitotoksin yang akan merusak lapisan usus besar (colon), yang menyebabkan terjadinya colitis pseudomembraneous. 3
r Enzim
Salah satu faktor virulensi lainnya yaitu enzim yang dihasilkan oleh bakteri, yang pada dasarnya tidak toksik tetapi berperan penting dalam proses infeksi. Enzim yang dimaksud antara lain enzim pendegradasi jaringan, contohnya lesitinase yang dihasilkan oleh C.perfringens, koagulase yang dihasilkan yang dihasilkan oleh S.aureus, hialuronidase yang dihasilkan oleh Streptococcus, dan streptokinase (fibrinolisin); enzim jenis kedua yaitu protease IgA1, yang memungkinkan patogen untuk menonaktifkan antibodi primer yang terdapat pada permukaan mukosa sehingga perlindungan inang oleh antibodi lenyap.2
r Faktor Antifagosit
Banyak bakteri patogen mati dengan cepat setelah dimakan oleh sel polimorfonuklear atau makrofag. Beberapa patogen menghindari fagositosis atau mekanisme mikrobisidal leukosit dengan mengadsorbsi komponen inang yang normal pada permukaannya. Beberapa bakteri (misalnya Capnocythophaga dan Bordetella) menghasilkan faktor-faktor yang dapat larut atau toksin yang dapat menghambat kemotaksis oleh leukosit sehingga terhindar dari fagositosis. 2
II.1.3 Resistensi Bakteri
Resistensi adalah jumlah total dari fungsi tersebut pada host sehingga mampu bertahan dari aktivitas parasit.1
Telah diketahui tiga cara terjadinya resistensi bakteri, antara lain :6
1. Mutasi spontan dari DNA
Pada mutasi spontan DNA, DNA bakteri bermutasi secara spontan. Hal ini dapat terjadi akibat penggunaan antibiotika tingkat rendah atau pada pasien yang tidak mengikuti petunjuk penggunaan antibiotika dengan baik. Pasien harus tetap menggunakan antibiotika selama dua hari setelah gejala hilang.
2. Transformasi seks mikrobial
Perpindahan gen dari satu sel ke sel lainnya dengan kontak langsung melalui sex pillus atau bridge, yang diistilahkan sebagai konjugasi. Ini merupakan cara bakteri berubah atau beradaptasi. Hal ini terjadi ketika satu bakteri mengambil DNA dari bakteri lain yang telah resisten selama proses replikasi.
3. Resistensi akibat perpindahan plasmid
Salah satu perubahan serius dari bakteri adalah resistensi yang didapat dari lingkaran kecil dari DNA yang disebut plasmid. Plasmid ini dapat berpindah dari satu bakteri ke bakteri lainnya. Sebuah plasmid dapat menyebabkan beberapa resistensi. Mikroba memiliki plasmid yang resisten terhadap empat jenis antibiotik.
II.1.4 Bakteri yang Berhubungan dengan Infeksi Oral dan Maksilofasial
Terdapat berbagai jenis bakteri yang berbeda dalam rongga mulut. Bakteri oral yang menyebabkan suatu infeksi dapat berkisar antara 350 sampai 500 jenis yang berbeda. Namun, jika mengetahui jenis bakteri yang dominan, kita dapat mengatasi penyakit infeksi tersebut.6
Tabel 1. Bakteri yang berhubungan dengan infeksi oral dan maksilofasial
Bakteri Fakultatif Aerob dan Anaerob | Bakteri Aerob |
Gram-positif cocci Streptococcus spp Beta-hemolytic streptococci Streptococcus milleri group (viridans) Kelompok Streptococcus mutans Gram-positif bacilli Rothia dentocariosa Lactobacillus spp Gram-negatif cocco-bacilli Actinobacillus spp Actinobacillus actinomycetemcomitans Campylobacter spp Campylobacter rectus Capnocytophaga spp Eikenella spp Gram-negatif rods Pseudomonas spp Enterobacteriaceae | Gram-positif cocci Peptostreptococcus spp Peptostreptococcus micros Gram-negatif bacilli Veillonella spp Gram-positif bacilli Actinomyces spp Eubacterium spp Propionibacterium spp Lactobacillus spp. Spirochetes Treponema denticola Treponema sokranskii Gram-negatif bacilli Prevotella spp Prevotella intermedia Prevotella nigrescens Porphyromonas spp Porphyromonas gingivalis Bacteroides spp |
Bakteri Fakultatif Aerob dan Anaerob | Bakteri Aerob |
| Bacteroides forsythus Fusobacterium spp Fusobacterium nucleatum Selenomonas sputigena |
Sumber : Dental infection.[monograph on the internet]. Washington : MEDCEU Continuing Education Courses CEU for Nurses and Healthcare Professional; 2007. Available at http://www.yenoh93.medceu.com/index/courses/dentalinfect.htm
II.2. Infeksi
II.2.1 Proses Terjadinya Infeksi
Patogenesis infeksi bakteri mencakup permulaan dari proses infeksi dan mekanisme yang menyebabkan pemunculan tanda-tanda dan gejala penyakit. Ciri khas bakteri patogen antara lain kemampuan transmisi, perlekatan pada sel inang, invasi sel dan jaringan inang, toksigenitas, dan kemampuan untuk menghindari sistem imun inang. Banyak infeksi yang disebabkan oleh bakteri yang secara umum merupakan patogen, yang bersifat tidak nampak atau asimtomatik. Penyakit terjadi jika bakteri atau reaksi imunologik terhadap keberadaannya menyebabkan cukup kerusakan terhadap seseorang. 2
Analisis terhadap infeksi dan penyakit melalui penerapan prinsip - prinsip seperti postulat Koch menyebabkan bakteri digolongkan menjadi patogen, patogen oportunistik, atau nonpatogen. 2
Bakteri (dan mikroorganisme lain) beradaptasi pada lingkungan, termasuk hewan dan manusia, tempat bakteri hidup dan bertempat tinggal. Dengan menimbulkan infeksi asimtomatik atau penyakit ringan, daripada kematian inang, mikroorganisme yang hidup secara normal pada manusia meningkatkan kemampuan penularannya. 2
Pintu masuk bakteri patogen ke dalam tubuh yang paling sering adalah tempat di mana selaput mukosa bertemu dengan kulit: saluran pernafasan (jalan nafas bagian atas dan bawah), saluran pencernaan (terutama mulut), saluran kelamin, saluran kemih. Kulit dan selaput mukosa yang normal memberikan pertahanan primer terhadap infeksi. 2
Jika masuk ke dalam tubuh, bakteri harus menempel atau melekat pada sel inang, bisanya sel epitel. Setelah bakteri menetap pada tempat infeksi pertama, bakteri berkembang biak dan menyebar langsung melalui jaringan atau lewat sistem getah bening menuju aliran darah. Infeksi ini (bakteremia) dapat bersifat sementara atau menetap. Bakteremia memungkinkan bakteri untuk menyebar luas dalam tubuh dan mencapai jaringan yang cocok bagi perkembangbiakannya. 2
Terdapat empat tahap atau fase dalam perkembangan infeksi : 3
1. Fase inkubasi, yaitu jangka waktu antara munculnya patogen dan onset dari gejala yang timbul. Lamanya waktu inkubasi dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk kesehatan secara umum dan status gizi, kondisi kekebalan tubuh host (apakah ia immunocompromised atau immunocompetent), virulensi dari patogen, dan kuantitas patogen yang menginvasi tubuh.
2. Fase prodromal, yaitu jangka waktu di mana penderita merasa “kurang enak badan” tetapi belum mengalami gejala-gejala penyakit yang sebenarnya.
3. Fase sakit, yaitu jangka waktu di mana pasien mengalami gejala-gejala khusus yang berhubungan dengan penyakit tertentu (misalnya radang tenggorokan, sakit kepala, dan penyumbatan sinus).
4. Fase penyembuhan, yaitu jangka waktu selama penderita mengalami proses penyembuhan. Pada beberapa penyakit infeksi, terutama penyakit saluran pernafasan akibat virus, periode penyembuhan dapat menjadi lebih lama. Walaupun penderita dapat sembuh dengan sendirinya, kerusakan permanen dapat terjadi akibat jaringan yang hancur pada area yang terinfeksi. Sebagai contoh, kerusakan otak dapat terjadi akibat ensefalitis atau pun meningitis, paralisis dapat terjadi akibat polimyelitis, dan ketulian akibat infeksi telinga.
Saat proses infeksi dimulai, penyakit dapat berpengaruh hanya pada satu titik dan dapat pula menyebar. Bisul dan abses merupakan contoh infeksi lokal. Jika patogen tidak tertahan pada satu titik , maka akan menyebar ke bagian tubuh lainnya melalui sistem limfa, peredaran darah, atau pada kasus tertentu, melalui fagosit. Jika infeksi telah meluas ke seluruh tubuh, maka dikategorikan sebagai infeksi sistemik (generalized infection). Sebagai contoh, bakteri yang menyebabkan tubercolosis – Mycobacterium tubercolosis- yang dapat menyebar ke organ internal lainnya.3
Tahap- tahap patogenesis infeksi bakteri secara umum mengikuti pola berikut : 3
1. Masuknya patogen ke dalam tubuh. Pintu masuknya antara lain penetrasi pada kulit dan membran mukosa oleh patogen, inokulasi patogen pada jaringan tubuh oleh arthropoda, inhalasi pada traktus respiratorius, pencernaan (pada traktus gastrointestinal), terpaparnya traktus genitourinari, atau masuknya patogen secara langsung ke dalam darah (misalnya melalui transfusi darah atau penggunaan jarum suntik bersama-sama pada pecandu narkoba).
2. Perlekatan patogen pada jaringan tubuh host.
3. Multiplikasi patogen, dapat bersifat lokal maupun sistemik.
4. Invasi / penyebaran patogen
5. Evasi (penyingkiran) mekanisme pertahanan host
6. Penghancuran jaringan tubuh host. Hal ini dapat berakibar fatal dan berujung pada kematian penderita.
Respon lokal dari host adalah peradangan. Proses ini diawali dengan dilatasi kapiler, terkumpulnya cairan edema, penyumbatan limfatik oleh fibrin. Didukung oleh kemotaksis akan terjadi fagositosis. Daerah tersebut menjadi sangat asam dan protease seluler cenderung menginduksi terjadinya lisis terhadap leukosit. Akhirnya makrofag mononuklear yang besar timbul, memangsa debris leukositik, membuka jalan untuk pemulihan terhadap proses infeksi dan penyembuhan.1
Respon sistemik dari host adalah pertahanan humoral yaitu reaksi antigen-antibodi. Antibodi ialah molekul protein yang diproduksi sel plasma / limfosit B yang tersensitisasi, disebut immunoglobulin. Antibodi ini menetralkan toksin bakteri, mencegah perlekatan dan mengaktifkan komplemen. Komplemen berperan dalam pengenalan host terhadap bakteri dan memacu proses fagositosis. 1
Akibat perubahan jaringan yang disebabkan oleh aktivitas bakteri dan pertahanan lokal host serta mekanisme serupa yang bekerja secara sistemik, menimbulkan gambaran klinis infeksi. Rasa nyeri tekan, kemerahan (eritema), dan pembengkakan (edema) mudah dikenali sebagai manifestasi suatu keradangan. Kadang-kadang bakteri yang memproduksi gas bisa memacu dan mendukung terjadinya respon pembengkakan. Naiknya suhu tubuh walaupun karakter dan bentuknya bervariasi, adalah akibat langsung dari mekanisme lokal pertahanan virulensi bakteri ataupun host. 1
Manifestasi sistemik yang utama dari infeksi ialah demam (temperatur mulut di atas 37,5o C dianggap febril). Keadaan tersebut mungkin disebabkan oleh endotoksin bakteri, ekstrak leukositik, hipermetabolisme, defisiensi cairan, atau kombinasi dari hal-hal tersebut. Bakteremia / oksemia bisa mengakibatkan demam, malaise, hipotensi, takikardia, dan takipnea. Sistem hematopoetik merespon dengan terjadinya leukositosis (sel darah putih di atas 10.000/mm3 ) dan meningkatnya neutrofil polimorfonuklear. Perubahan yang lain adalah meningkatnya laju endap darah (ESR) yang normalnya adalah 0-20 mm/jam menjadi 30-70 mm/jam pada keadaan infeksi.1
Suatu penyakit dapat berubah dari simptomatik menjadi asimptomatik , dan beberapa waktu kemudian, kembali menjadi simptomatik. Penyakit yang seperti ini disebut sebagai infeksi laten. Infeksi virus herpes , gejalanya antara lain demam tinggi, infeksi herpes genital, dan ruam-ruam kulit , merupakan salah satu contoh infeksi laten. Virus menjadi tidak aktif di dalam sel syaraf, hingga menjadi aktif akibat dipicu oleh stres atau tekanan. Faktor pemicunya dapat berupa demam, panas matahari berlebihan, suhu dingin yang ekstrim, atau stres emosional. Jika suatu penyakit infeksi tidak ditangani dengan baik, maka dapat memicu terjadinya infeksi laten. 3
Suatu penyakit infeksi dapat diikuti dengan infeksi lainnya, dalam hal ini penyakit yang pertama disebut infeksi primer, sedangkan penyakit yang kedua disebut infeksi sekunder. Sebagai contoh, kasus pneumonia bakterial yang parah akan diikuti dengan infeksi saluran pernafasan yang ringan, disebabkan oleh virus. Selama infeksi primer, virus menyebabkan kerusakan pada sel-sel epitel bersilia pada traktus respiratorius. Fungsi dari sel ini yaitu untuk menyingkirkan benda-benda asing keluar dari traktus respiratorius dan atau membawanya ke kerongkongan sehingga dapat ditelan. Saat batuk , penderita dapat menghirup saliva, yang mengandung patogen oportunistik, seperti Streptococcus pneumonia atau Haemophyrus influenza. Karena sel-sel epitel bersilia telah dirusak oleh virus, maka akan sulit untuk menyingkirkan patogen- patogen tersebut dari paru-paru. Bakteri kemudian berkembang dan menyebabkan pneumonia. Dalam kasus ini, infeksi virus menjadi infeksi primer, sedangkan infeksi bakteri berperan sebagai infeksi sekunder. 3
II.2.2 Mekanisme Pertahanan Host
Mekanisme pertahanan host merupakan faktor yang paling penting dalam hasil akhir dari invasi bakteri. Respon dari inflamasi, dengan adanya migrasi sel-sel darah putih dan produksi antibodi, yang memungkinkan adanya perlindungan tersebut. Jika mekanisme ini atau mekanisme pertahanan host lainnya tidak bekerja, dapat terjadi infeksi yang disebabkan oleh paparan minor bakteri lainnya. Jadi ketika mempertimbangkan terapi profilaktik untuk infeksi, seorang ahli bedah harus mengevaluasi status umum dari mekanisme pertahanan host. 4
Salah satu hal yang perlu dipertimbangkan dalam pertahanan host yaitu apabila infeksi terjadi pada pasien dengan sistem imun yang rentan (immunocompromised patient), misalnya pada pasien dengan infeksi HIV dan pada pasien yang menjalani terapi radiasi.5
Pertahanan host yang melindungi dari infeksi antara lain barier alami (seperti kulit dan membran mukosa), respon imun non spesifik (misalnya sel-sel fagositik antara lain neutrofil, makrofag, dan produk-produknya), dan respon imun spesifik ( seperti antibodi dan limfosit). 8
Kulit biasanya melindungi dari invasi mikroorganisme, terkecuali jika mengalami kerusakan secara fisik (termasuk luka, kateter IV, atau insisi bedah). Pengecualian diberlakukan bagi virus human papiloma, yang dapat menginvasi kulit yang normal, dan beberapa parasit (antara lain Schistoma mansoni, Strongyloides stercoralis). 8
Sebagian besar membran mukosa dilindungi oleh sekresi yang mengandung komponen antimikroba (antara lain cairan servikal, cairan prostat, dan air mata yang mengandung lisozim). Sekresi lokal juga mengandung immunoglobulin, IgG dan IgA, yang mencegah mikroorganisme menempelkan diri pada sel-sel host. 8
Sitokin (termasuk IL-1, IL-6, TNF, interferon-γ) dihasilkan oleh makrofag dan mengaktifkan limfosit dan memediasi suatu respon fase akut. Respon yang terjadi termasuk demam dan peningkatan produksi neutrofil oleh sumsum tulang. Sel-sel endotelial dapat menghasilkan sejumlah besar IL-8, yang menarik neutrofil. 8
Respon inflamasi mengarahkan komponen sistem imun pada titik infeksi ataupun perlukaan dan didukung oleh suplai darah yang meningkat dan permeabilitas vaskuler, yang memungkinkan kemotaksis peptida, neutrofil, dan sel mononuklear untuk meninggalkan bagian intravaskuler. Penyebaran mikrobial dibatasi dengan cara menelan mikroorganisme, yang dilakukan oleh fagosit (yaitu neutrofil dan makrofag). Fagosit diarahkan pada mikroba melalui mekanisme kemotaksis dan melepaskan komponen lisosomal fagositik yang membantu menghancurkan mikroba. Produk-produk oksidatif seperti hidrogen peroksida dihasilkan oleh fagosit dan akan membunuh mikroba yang tersisa. Jika selama infeksi terbentuk defek neutrofil kuantitatif atau pun kualitatif, maka infeksi biasanya berlangsung dalam waktu lama dan recurrent serta berespon secara lambat terhadap agen antimikroba. 8
Pemahaman bahwa infeksi dapat disembuhkan sendiri dengan baik oleh host, bukan oleh antibiotik, merupakan hal yang kritis. Antibiotika membantu dalam situasi di mana host telah kewalahan oleh banyaknya bakteri atau ketika bakteri dengan virulensi khusus ikut berperan. Sebagai tambahan, ketika mekanisme pertahanan pasien tidak bekerja dengan baik, antibiotika memainkan peran yang lebih penting dalam mengontrol infeksi. Beberapa kelompok pasien lebih rentan terhadap infeksi, yang diakibatkan pertahanan tubuh yang menurun. Mereka dibagi dalam empat kategori berdasarkan penyebab menurunnya pertahanan tubuh : fisiologis, berhubungan dengan-penyakit, berhubungan dengan- sistem imun defektif (tidak sempurna), dan berhubungan dengan- pengaruh obat-obatan. 4
Penurunan pertahanan host secara fisiologis berhubungan dengan ketidakmampuan pasien untuk menghantarkan agen –agen pertahanan, misalnya sel darah putih, antibodi, dan komplemennya, ke titik tempat terjadinya infeksi bakteri. Shock, gangguan sirkulasi akibat bertambahnya umur ataupun obesitas, dan ketidakseimbangan cairan merupakan contoh penurunan pertahanan host tipe ini. 4
Beberapa penyakit dan stadium penyakit dapat menghambat pertahanan tubuh host. Sindroma malnutrisi dan akibat dari alkoholism, merupakan contoh yang penting. Pasien dengan kanker dan leukemia lebih mudah mengalami infeksi. Walaupun diabetes menjadi salah satu faktor predisposisi infeksi pada ekstremitas (anggota gerak), hal ini tidak menjadi faktor yang berkontribusi penting pada regio orofasial, kecuali pada pasien dengan diabetes yang tidak terkontrol parah. 4
Sistem imun yang tidak sempurna atau cacat dapat merupakan akibat dari defek kongenital seperti agammaglobulinemia, penyakit seperti multiple myeloma, dan terapi radiasi seluruh tubuh. Pasien dengan kondisi seperti ini mungkin tidak mampu melawan invasi bakteri dengan baik. Anak-anak yang telah menjalani splenektomi lebih rentan terhadap pneumonia akibat Streptococcus pneumonia. 4
Variasi obat-obatan terapeutik dapat menekan kemampuan pasien untuk mengatasi invasi bakteri. Dalam hal ini, dua kelompok obat-obatan penting untuk diketahui. Pertama, kelompok obat-obatan sitotoksik, yang utamanya digunakan untuk perawatan keganasan yang bervariasi. Pasien dapat mengalami peningkatan kerentanan terhadap infeksi setelah lebih dari satu tahun menjalani terapi kanker. 4
Kelompok obat-obatan lainnya yang berpengaruh terhadap pertahanan tubuh host yaitu obat yang diberikan untuk menekan respon imun. Obat-obatan imunosupresif ini, sperti glukokortikoid, azathiophrine, dan siklosporin, digunakan dalam berbagai situasi klinis, misalnya transpalantasi organ. Terapi steroid dan azathiophrine menurunkan jumlah limfosit-T dan limfosit sel-B. Ketika obat-obatan ini digunakan,terdapat peningkatan substansial pada kejadian infeksi parah. Siklosporin menekan sel-T secara khusus, dan tidak berpengaruh terhadap sel-B untuk memungkinkan adanya aktifitas pertahanan antibakterial. Ketika pembedahan akan dilakukan pada pasien dengan kondisi khusus (compromised patient), maka harus dipertimbangkan pemberian antibiotik profilaksis. 4
II.2.3 Infeksi Oral dan Maksillofasial
Infeksi odontogenik memiliki dua sumber utama: peripikal, sebagai akibat dari nekrosis pulpa, dan invasi bakteri lanjutan ke dalam jaringan periapikal dan periodontal, sebagai akibat pendalaman poket periodontal yang memungkinkan inokulasi bakteri ke jaringan yang terletak di bawahnya. Sumber dari periapikal merupakan penyebab yang paling umum pada infeksi odontogenik. Saat jaringan terinokulasi dengan bakteri, maka akan terjadi infeksi aktif. Infeksi ini akan menyebar secara merata ke semua arah sesuai pola resistensi. Infeksi menyebar sepanjang tulang kanselus hingga mencapai lempeng kortikal. Jika lempeng tulang kortikal tipis, infeksi akan menyebar ke jaringan lunak. Jika infeksi menyebar sepanjang lempeng kortikal pada prosessus alveolar, maka akan muncul pada daerah anatomis yang telah diperkirakan. 9
Ruang atau bidang fasial. Kepala dan leher dikelilingi oleh ruang fasial yang biasanya dipisahkan oleh jaringan ikat yang longgar. Spatium (ruang) tersebut merupakan daerah yang pertahanannya terhadap penyebaran infeksi kurang sempurna. Walaupun dalam batas tertentu ruang ini cenderung melokalisir infeksi, tetapi ruang ini juga berhubungan satu sama lain. Barier terakhir terhadap penyebaran infeksi di luar prosessus alveolaris adalah periosteum. Apabila periosteum tertembus, maka ruang-ruang dari bidang yang berada di dekatnya akan segera terinfeksi. Ruang-ruang tersebut dikelompokkan menjadi mandibular, maksilar, lateral, faringeal, kranial, dan servikal.1
Tabel 2. Ruang fasial yang potensial
Kelompok /nama | Gigi sumber infeksi | Hubungan |
Mandibular Submandibular Sublingual Submental Submaseterik Pterigomandibula | Molar bawah Premolar bawah, gigi-gigi anterior Insisivus bawah Temporal,parafaringeal Molar ketiga bawah | Pada sisi submandibular yang lain, pterigomandibular, parafaringeal, bidang fasial pada leher Submandibular, parafaringeal Submandibular Temporal, parafaringeal Temporal, parafaringeal |
Kelompok /nama | Gigi sumber infeksi | Hubungan |
Maksilar Fossa canina Periorbital | Terutama kaninus, juga P dan I Semua gigi rahang atas | Melalui vena ke sinus cavernosus Melalui vena ke sinus cavernosus |
Lateral Buccinator Parotis | Molar dan premolar atas dan bawah Biasanya bukan dari gigi | Submaseterik, pterigomandibular, temporal, faringeal, lateral Parafaringeal dan temporal profundus |
Faringeal Lateral Retrofaringeal | Setiap gigi, lewat ruang lain. Seringkali gigi posterior bawah Setiap gigi, lewat ruang lain. Seringkali gigi posterior bawah | Penyebaran intrakranial atau mediastinal Intrakranial atau mediastinal |
Kranial Temporal Infratemporal | Tak ada hubungan langsung Tak ada hubungan langsung | Pterigomandibular, infratemporal Pterigomandibular melalui plexus venosus pterigoideus |
Servikalis Fascia profunda | Tak ada hubungan langsung | Melalui selubung karotis ke mediastinum |
Sumber : Pederson, Gordon W. Buku Ajar Praktis Bedah Mulut. Jakarta : EGC; 1996, hal 194.
Sistem limfatik bisa berperan menjadi agen pertahanan lokal / sistemik terhadap infeksi mikroorganisme. Limfadenitis regional bisa menjadi petunjuk adanya infeksi yang sedang berlangsung atau yang terjadi di masa lalu, atau suatu pertanda adanya infeksi yang manifestasinya belum nampak. Kadang, fibrosis pada nodus lymphaticus merupakan kondisi infektif yang mengalami penyembuhan. 1
Saat diagnosa infeksi telah diketahui, rangkaian perkembangannya dapat diprediksi berdasarkan jenis bakteri, sifat invasifnya, dan ketahanan host. Sebagai contoh, beberapa bakteri, misalnya Streptococci, berkembang dengan cepat tanpa memproduksi pus, sedangkan pada bakteri lainnya, seperti bakteri obligat anaerobik, berkembang lebih lambat, dan menghasilkan pus.9
Tahap awal : Selulitis
Pada fase permulaan, ketika bakteri pertama kali masuk pada jaringan dasar melalui sumber odontogenik, biasanya terjadi selulitis. Selulitis biasanya akut, memiliki tepi yang menyebar, dan tidak menghasilkan pus. Pada awalnya konsistensinya lunak, dan kenyal saat dipalpasi, kulit yang ada di atasnya terlihat kemerahan, dan pasien biasanya mengeluh nyeri yang mengganggu. Sejalan dengan perkembangan selulitis, pembengkakan menjadi lebih besar dan lebih keras hingga menjadi padat. Kepadatan disebabkan oleh ekstravasasi cairan dari ruang vaskuler menuju ke jaringan interstisial, yang menyebabkan tegangan pada jaringan yang menekan pembuluh darah dan dengan demikian mengganggu suplai vaskuler pada daerah tersebut. 9
Bakteri yang menyebabkan fase selulitis biasanya bakteri anaerobik fakultatif, misalnya Streptococci. Oleh sebab itu, perawatan antibiotik yang menargetkan golongan bakteri tersebut sebagai sasaran sebaiknya digunakan pada tahap infeksi ini. 9
Tahap kedua : Abses
Pada tahap ini, tubuh mampu untuk memobilisasi pertahanan secukupnya untuk mengatasi infeksi dan mencegah penyebarannya. Akumulasi dari leukosit polimorfonuklear menjadi bagian dari pus. Abses adalah suatu kumpulan pus yang terlokalisir pada jaringan, yang memiliki batas tepi yang jelas dan berfluktuasi saat dipalpasi. 9
Bakteri yang bertanggungjawab terhadap pembentukan abses sebagian besar adalah bakteri anaerobik obligat. Walaupun bakteri anaerobik fakultatif juga sering ditemukan pada spesimen pus dari abses, perannya dalam pembentukan abses relatif lebih kecil. Pada fase ini harus dipertimbangkan pemberian perawatan antibiotik yang sesuai dengan jenis bakteri anaerobik, baik fakultatif maupun obligat. 9
Tabel 3. Perbedaan antara selulitis dan abses
Karakteristik | Selulitis | Abses |
Durasi | Akut | Kronis |
Nyeri | Parah dan menyeluruh | Bersifat lokal |
Lokalisasi | Tepi yang menyebar | Terpusat |
Karakteristik | Selulitis | Abses |
Palpasi | Kenyal , hingga padat | Berfluktuasi |
Adanya pus | Ada | Tidak |
Bakteri | Aerob | Anaerob |
Sumber : Peterson, J.Larry, Edward Ellis, James R.Hupp, Myron Tucker. Oral and Maxillofacial Surgery 4th ed. Missouri: Mosby ; 2003, p 350.
Tahap ketiga : Penyebaran ke sinus
Pada tahap ini, abses pecah (ruptur) secara intraoral, dan dalam kasus tertentu, ekstraoral, menyebabkan drainase kronis pada sistem sinus. Setelah sistem sinus mengalami drainase, tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pembengkakan, nyeri, atau peningkatan temperatur, yang terlihat. Jika pasien dirawat dengan antibiotika, maka drainase sinus akan berhenti, tetapi akan berlanjut lagi saat perawatan antibiotik dihentikan. Metode perawatan pada kasus ini yaitu menghilangkan sumber infeksi, baik dengan terapi endodontik atau pun dengan ekstraksi gigi. 9
Sangat penting untuk mengetahui perbedaan antara tahap-tahap tersebut, agar perawatan pemberian antibiotik yang tepat dapat dilakukan.10
Fase serous. Ini merupakan prosedur yang memerlukan jangka waktu kurang lebih 36 jam, dan ditandai dengan edema inflamasi lokal, hyperemia atau kemerahan dengan peningkatan suhu, dan nyeri. Eksudat serous yang diteliti pada stadium ini mengandung protein dan terkadang leukosit polimorfonuklear.10
Fase selular. Dalam fase ini terjadi perkembangan dari fase serous. Ditandai dengan akumulasi massal leukosit polimorfonuklear, terutama granulosit neutrofil, yang mengarah ke pembentukan pus. Jika pus terbentuk dalam kavitas yang baru berkembang, disebut abses. Jika pus terbentuk pada kavitas yang telah ada sebelumnya, seperti sinus maksilaris, maka disebut emfisema. 10
Fase reparatif. Selama inflamasi berlangsung, terjadi proses perbaikan yang dimulai segera setelah inokulasi. Dengan mekanisme reparatif dari inflamasi, produk – produk reaksi inflamasi akut dibuang dan diikuti dengan terjadinya perbaikan jaringan yang rusak. Perbaikan dicapai dengan pengembangan jaringan granulasi, yang kemudian berganti menjadi jaringan ikat fibrosa, yang akan berkembang untuk
Tidak ada komentar:
Posting Komentar