Gigi Supernumerary dan Supplemental : Laporan Kasus
G. Lo Giudice, V. Nigrone, A. Longo, M. Cicciu
Department of Dentistry, University of Messina, Italia
Abstrak.
Tujuan penelitian ini adalah untuk melaporkan kasus seorang anak penderita anomali kelebihan gigi yang menunjukkan kondisi patologis dengan adanya gigi supernumerary dan supplemental. Anomali dianalisa untuk perencanaan perawatan orthodonsi dan bedah yang terbaik.
Laporan kasus. Riwayat kesehatan gigi. Dilakukan pemeriksaan klinis dan pemeriksaan dengan instrumen untuk diagnosa dan perawatan orthodonsi korektif. Seorang pasien yang masih muda mengalami anomali kelebihan gigi pada rahang atas. Telah dilakukan observasi pada sejumlah besar gigi, khususnya dua insisivus lateralis permanen supplemental yang normal dan satu gigi mesiodens tidak erupsi yang terletak di antara insisivus sentralis rahang atas. Langkah pertama, insisivus lateralis supplemental diekstraksi. Terapi pembedahan dan aplikasi space maintainer dilakukan untuk memungkinkan terjadinya erupsi kaninus permanen. Kemudian mesiodens ditangani dengan pembedahan (ekstraksi). Akhirnya, erupsi fisiologis gigi permanen dimungkinkan oleh perawatan bedah dan orthodontik yang terencana.
Diskusi. Tujuan perawatan bedah-orthodontik adalah untuk mengekstraksi gigi supernumerary yang tidak erupsi agar dapat terjadi erupsi fisiologis bagi gigi permanen. Perawatan orthodontik penting untuk mengatasi maloklusi dan mempertahankan ruang bagi erupsi gigi permanen.
Kesimpulan. Estetik dan fungsi merupakan dua parameter penting dalam kedokteran gigi modern. Semua klinisi seharusnya mencoba membuat suatu diagnosa yang tepat dan rasional untuk kasus patologik sederhana dan kompleks. Khususnya pada anak-anak yang masih muda, teknik bedah dan invasif sebaiknya tidak dilakukan dan sebagai pengganti dapat dilakukan perawatan ortohodontik interseptiv.
Kata kunci : anomali gigi; hiperdontia; gigi supplemental dan supernumerary.
Pendahuluan
Anomali gigi berlebih dapat didefinisikan sebagai penyakit yang berfrekuensi tinggi, dan sering diderita oleh anak-anak yang masih muda. Karena itu suatu diagnosa dini penting dilakukan untuk merencanakan suatu terapi koreksi. Peningkatan patologi tersebut selama beberapa tahun terakhir seharusnya menjadi perhatian dokter gigi dan dokter spesialis anak.
Anomali jumlah gigi ditandai oleh adanya pertambahan atau penurunan jumlah gigi pada rahang. Capozzi dkk [1987] dalam suatu penelitian mengenai hiperdontia mendefinisikan dua kondisi patologis yang berbeda : hiperdontia sejati (pertambahan jumlah gigi susu dan gigi permanen) dan hiperdontia semu, dengan gigi decidui yang muncul bersamaan dan dekat dengan gigi permanen. Penelitian lain memperkuat hasil yang sama [Capozzi dkk.,1987; Cassetta dkk.,1994; De Michelis dkk., 1992; Orlando dkk., 1966; Pezzoli dkk., 1969].
Suatu klasifikasi anomali jumlah gigi diperkenalkan oleh Tomes [1873], sebagai berikut :
- Gigi supplemental yaitu gigi yang memiliki kesamaan bentuk dan fungsi dengan gigi tetangga tanpa adanya perbedaan anatomis.
- Gigi supernumerary yaitu gigi yang memiliki bentuk anatomis yang tidak normal; kadang gigi ini berukuran lebih kecil dari normal.
Klasifikasi Bush [1897] menganalisa perbedaan morfologi gigi supernumerary:
- Konus yaitu gigi dengan volume kecil dan bentuk kerucut, dengan akar pendek dan mengarah ke palatal.
- Tuberkulum yaitu gigi dengan banyak cusp. Akarnya pendek dan melengkung.
- Infundibul form yaitu gigi dengan bentuk corong. Akarnya pendek dan konus.
Suatu penelitian menunjukkan bahwa gigi supernumerary memiliki ciri-ciri bentuk dan struktur yang teratur. Hanya gigi konus yang dipengaruhi oleh konsentrasi mineral yang berbeda dengan dentin tidak beraturan. [Pezzoli dkk.,1969].
Beberapa peneliti mengelompokkan gigi supernumerary sesuai dengan posisi dan lokasinya. Mesiodens dapat didefinisikan sebagai gigi yang terletak di antara insisivus sentralis atas; paramolar merupakan gigi yang terletak pada regio molar; gigi distomolar terletak distal terhadap molar tiga [Bolk,1914; Sfasciotti dkk., 1991].
Posisi supernumerary telah diteliti oleh Capozzi [ 1987] dan De Michelis [1992] ke dalam dua penelitian ilmiah yang berbeda, yang menunjukkan bahwa posisi gigi dapat normal, inversi, transversi, atau ektopik.
Suatu analisa statistik mengenai orientasi gigi supernumerary telah dilakukan oleh Tay dkk [1984], yang menyimpulkan bahwa 16,8% dari sampel yang dianalisa berada dalam posisi yang tepat, 77,6% mengalami inversi, dan 5,6% berada dalam posisi transversi.
Patogenesis anomali ini masih diperdebatkan. Faktor genetik menjadi penentu faktor utama, sedangkan teori filogenetik hanya memiliki nilai historis. Levine, Di Biase, McKibben, Sykaras, Primosch dan Liu melalukan penelitian mengenai aktivitas tinggi dental lamina primitif sebagai penyebab yang mungkin dari anomali jumlah gigi [Levine, 1961; Di Biase, 1969; Mckibben et al., 1971; Sykaras, 1975; Primosch, 1981; Liu, 1995].
Kleidokranial disostosis adalah suatu sindrom genetik yang ditandai dengan anomali jumlah gigi. Untuk alasan ini faktor genetik sangat berhubungan dengan terjadinya penyakit ini. Orlando, Capozzi, dan Cassetta menekankan bahwa anomali jumlah gigi dapat terjadi pada sindrom genetik lainnya seperti dysplasia ektodermal, Crouzon’s disease dan sindrom orofasial (Sture–Weber, Anderson, Gardner, Down) [Orlando et al., 1966; Capozzi et al., 1987; Cassetta et al., 1994].
Frekuensi penyakit ini dianalisa oleh Orlando, Mckibben, Primosch, Goaz, Capozzi, Nik-Hussein dan Roberts. Laporan-laporan epidemiologi tersebut menunjukkan bahwa terdapat frekuensi gigi supernumerary yang tinggi pada gigi permanen (3,8%). Frekuensinya pada gigi desidui lebih rendah (1,8%) [Orlando et al.,1966; Mckibben et al., 1971; Primosch, 1981; Goaz et al., 1986; Capozzi et al., 1987; Nik-Hussein et al., 1996; Roberts et al., 2005].
Pada tahun 2005, Bryan dkk mempublikasikan suatu penelitian mengenai erupsi tertunda gigi permanen akibat adanya gigi supernumerary, dalam hubungannya dengan : maturasi akar, derajat impaksi vertikal, dan sudut derajat impaksi [Bryan dkk.,2005].
Feng dkk. [2007] dalam penelitiannya tentang oligodontia dan agenesis gigi mengklasifikasikan anomali jumlah gigi menjadi yang menunjukkan gejala dan tanpa gejala, dan mereka kemudian menyimpulkan bahwa faktor etiologi dapat dihubungkan dengan mutasi genetik.
Di sisi lain, Pardo dkk [2006] mempublikasikan suatu studi genetik pada sebuah keluarga Chile dengan tiga anomali yang berbeda. Mereka menyimpulkan bahwa mutasi genetik tidak selalu berhubungan dengan anomali jumlah gigi.
Perkembangan gigi supernumerary pada mandibula dengan kasus ada riwayat supernumerary di regio pre-maksilla telah dianalisa oleh Hall pada tahun 2006. Penelitian ini menyajikan dua kasus di mana terjadi pembentukan dan erupsi gigi yang lambat pada gigi supernumerary dalam mandibula dengan adanya riwayat pembentukan gigi supernumerary pada regio pre-maksilla. [Hall et al., 2006].
Chen et al. [2006] mempublikasikan suatu laporan kasus, yang menunjukkan gigi supernumerary berhubungan dengan sindrom genetik, dan suatu kajian pustaka yang meneliti pentingnya fitur diagnostik dan pilihan perawatan.
Bayram dkk mempublikasikan [2006] suatu hasil penelitian terhadap insisivus sentralis rahang atas yang mengalami impaksi bilateral dan dirawat dengan pembedahan dan perawatan ortodontik. Laporan kasus ini menekankan bahwa penyebab impaksi insisivus sentralis rahang atas dapat dihubungkan dengan penyebab lokal, baik gigi supernumerary ataupun odontoma. Dalam kasus ini, dilaporkan mengenai pembedahan dan traksi ortodontik dari insisivus impaksi bilateral yang dilakukan setelah pengambilan gigi supernumerary yang juga impaksi.
Dalam literatur, frekuensi gigi supernumerary dan supplemental dilaporkan lebih sering pada laki-laki daripada perempuan, dengan proporsi pada gigi-geligi permanen 2:1. Pada gigi desidui rasionya yaitu 1:1 [Pezzoli et al., 1969; Brook, 1974; Ravne, 1971; Goaz et al., 1986; Hogstrum et al., 1987; Berrone et al.,1989; Goia et al., 1989; Mitchell, 1989; Cassetta et al., 1994].
Gigi desidui supernumerary ditemukan pada area insisivus di rahang atas dan bawah. Orlando, Capozzi, dan Cassetta menjelaskan mengenai posisi mesiodens sentralis pada gigi permanen. Mesiodens biasanya terletak di premaksilla (64,3%). Lokasi lainnya yaitu zona molar tiga rahang atas (29,6%), molar tiga rahang bawah (7,0%), area premolar (7,0%), dan insisivus bawah (4,2%) [Orlando et al., 1966; Capozzi et al., 1987; Cassetta et al., 1994].
Menurut analisa Orlando, Primosch, Capozzi and Cassetta, disimpulkan bahwa maloklusi merupakan komplikasi paling banyak; hal ini juga berhubungan dengan kista maksilla dan manifestasi neuralgia [Orlando et al., 1966; Primosch, 1981; Capozzi et al., 1987; Cassetta et al., 1994].
Diagnosa anomali jumlah gigi pada umumnya mudah, dan dapat diperoleh selama pemeriksaan klinis atau analisa radiografi. Diagnosa gigi supernumerary dan supplemental telah diteliti oleh Olivera and Cozza [Cozza, 2001; Olivera, 2002].
Laporan kasus ini menunjukkan keadaan yang jarang ditemui pada gigi supernumerary dan supplemental. Perawatan non invasif dini dapat dipertimbangkan sebagai pilihan perawatan yang terbaik.
Laporan Kasus
Seorang anak laki-laki berusia 10 tahun diobservasi di Departemen Kedokteran Gigi Universitas Messina, Italia. Tidak ada riwayat kasus untuk penyakit genetik sistemik dan lokal. Pemeriksaan klinis memperlihatkan gigi geligi bercampur (mixed dentition) yang normal, dan pasien tersebut bebas karies.
Gambar 1. Penampakan klinis intra-oral gigi insisivus permanen lateralis ganda dengan bentuk-normal.
Gambar 2. OPT
Gambar 3. Penampakan radiografis insisivus permanen lateralis ganda bentuk-normal dan sebuah gigi mesiodens tidak erupsi yang terletak di antara insisivus sentralis rahang atas.
Pemeriksaan intra-oral menunjukkan adanya dua insisivus lateralis permanen supplemental – bentuk normal dan bukti klinis adanya maloklusi (gambar 1). Analisis radiografi menunjukkan gigi geligi bercampur fisiologis dan memperkuat adanya dua insisivus lateralis supplemental – bentuk normal, dan juga ada satu mesiodens yang tidak erupsi di antara insisivus sentralis rahang atas (gambar 2, 3). Untuk alasan ini dilakukan check-up ortodontik. Perencanaan perawatan dibagi menjadi fase pembedahan dan diikuti terapi ortodontik interseptif. Koreksi maloklusi bertujuan untuk memperoleh relasi Klas I Molar yang merupakan suatu parameter penting untuk memperoleh erupsi fisiologis kaninus rahang atas. Ekstraksi dengan pembedahan gigi supplemental dan penempatan space maintainer dibuat untuk memungkinkan erupsi kaninus permanen. Kemudian mesiodens yang inversi diekstraksi (gambar 4, 5).
Setelah beberapa bulan, kaninus mengalami erupsi dan diperoleh susunan gigi yang baik pada regio depan rahang atas.
Gambar 4. Tampak lateral Dx dan Sn dari gigi insisivus sentralis dan insisivus lateralis rahang atas setelah perawatan.
Gambar 5. Tampak depan.
Diskusi
Laporan kasus menunjukkan kondisi klinis yang jarang : ditemukan gigi supplemental dan supernumerary secara bersamaan. Robertson dkk (1984) melaporkan suatu kasus dua gigi insisivus lateralis rahang atas kemudian menguraikan terapi yang ditekankan pada prognosis. Tujuan dari terapi tersebut yaitu ekstraksi dengan pembedahan pada gigi supernumerary untuk memperoleh erupsi fisiologis gigi permanen [Foley dkk., 2004]. Terapi pembedahan sering dianjurkan dengan ekstraksi benih gigi seperti yang ditunjukkan oleh Sfasciotti dkk pada 1987 [ Sfasciotti dkk.,1987].
Perawatan ortodontik penting untuk mengatasi maloklusi dan mempertahankan erupsi gigi permanen. Perawatan ortodontik dianalisa oleh Orlando, Capozzi, De Michaelis, Burrone, Cassetta, dan Cozza. Semua penulis menyarankan perawatan interseptif untuk mengatasi masalah patologis ini [Orlando et al., 1966; Capozzi et al., 1987; De Michelis et al., 1992; Burrone et al., 1989; Cassetta et al., 1994; Cozza et al.,2001].
Kesimpulan
Berdasarkan data dari literatur dan pengalaman klinis, diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
- Perubahan erupsi dinamis, yang dipengaruhi oleh anomali jumlah gigi, dapat dirawat dengan perencanaan multidisipliner dan diagnosa awal [Cozza dkk., 2006]
- Perawatan ortodontik interseptif penting dipertimbangkan untuk menghindari operasi pembedahan traumatik dan invasif.
- Analisa radiografi, seperti OPT dan CT, membantu diagnosa awal dan perencanaan perawatan.
- Anomali jumlah gigi dapat dideteksi melalui diagnosa awal berdasarkan pemeriksaan klinis dan radiologis untuk membuat perencanaan terapi adekuat.
Dalam kasus gigi supernumerary dapat dipertimbangkan perawatan ortodontik sebagai pilihan perawatan terbaik untuk meningkatkan erupsi gigi secara fisiologis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar